Ia termasuk generasi assabiqunal awwalun yang mula-mula masuk Islam. Mantan perampok dari Bani Ghifar bernama Jundub bin Junadah ini termasuk sahabat dekat Rasulullah saw. Setelah bertauhid, ia terkenal dengan sebutan Abu Dzar al-Ghifari.
Abu Dzar sangat mencintai Nabi Muhammad, pun sebaliknya. Di Madinah, ia berkhidmat melayani berbagai kepentingan Rasulullah dan keluarganya. Tak heran jika ia banyak menimba ilmu dari beliau.
Merasa dekat dan disayang Nabi Muhammad, suatu ketika Abu Dzar mencoba meminta jabatan. Mendengar permintaan tersebut, Rasulullah menepuk pundaknya seraya berpesan, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan,” (HR Muslim).
Mematuhi pesan junjungannya, Abu Dzar menjadi “proletar”, anti birokrasi dan kemapanan. Walau begitu, ia tetap mengingatkan mereka-mereka yang lena dengan kenikmatan duniawi agar sadar diri, eling dan waspada.
Tak pelak sikapnya ini menuai kontroversi. Ia dianggap aneh, ganjil dan ‘asing’. Padahal saat itu Islam tengah berjaya, dan para sahabat terkemuka banyak yang mendapatkan kedudukan istimewa dalam pemerintahan.
Keteguhan prinsipnya membuat lelaki yang disebut sebagai manusia paling jujur oleh Rasulullah itu ‘terkucilkan’ dari pergaulan. Ia pun menjalani lelaku uzlah; menyepi dari kerumunan manusia. Hidup menyendiri di perbukitan Rabadzah di luar kota Madinah, hingga maut menjemputnya.
Abu Dzar dikenal memiliki solidaritas sosial yang tinggi, peduli dengan kaum papa dan marginal, serta bersikap wala’ dan zuhud. Rasulullah pernah mendoakannya, “Semoga Allah SWT mengampuni Abu Dzar. Ia berjalan sendirian, akan mati sendirian dan akan dibangkitkan kembali sendirian.”
Kini di negeri ini, orang-orang yang mengaku besar dan ternama tengah berlomba-lomba berebut jabatan dan kedudukan. Melakukan segala macam cara demi pemenuhan ambisi dan kuasa sesaat. Orang-orang seperti Abu Dzar al-Ghifari jarang muncul ke permukaan.
Padahal meleburkan diri dalam kancah ini bukanlah suatu kehinaan, juga tidak menghilangkan kemuliaan. Abu Dzar telah membuktikan, bahwa “kesendirian” itu sama mulianya dengan gempita kekuasaan.
Abu Dzar sangat mencintai Nabi Muhammad, pun sebaliknya. Di Madinah, ia berkhidmat melayani berbagai kepentingan Rasulullah dan keluarganya. Tak heran jika ia banyak menimba ilmu dari beliau.
Merasa dekat dan disayang Nabi Muhammad, suatu ketika Abu Dzar mencoba meminta jabatan. Mendengar permintaan tersebut, Rasulullah menepuk pundaknya seraya berpesan, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan,” (HR Muslim).
Mematuhi pesan junjungannya, Abu Dzar menjadi “proletar”, anti birokrasi dan kemapanan. Walau begitu, ia tetap mengingatkan mereka-mereka yang lena dengan kenikmatan duniawi agar sadar diri, eling dan waspada.
Tak pelak sikapnya ini menuai kontroversi. Ia dianggap aneh, ganjil dan ‘asing’. Padahal saat itu Islam tengah berjaya, dan para sahabat terkemuka banyak yang mendapatkan kedudukan istimewa dalam pemerintahan.
Keteguhan prinsipnya membuat lelaki yang disebut sebagai manusia paling jujur oleh Rasulullah itu ‘terkucilkan’ dari pergaulan. Ia pun menjalani lelaku uzlah; menyepi dari kerumunan manusia. Hidup menyendiri di perbukitan Rabadzah di luar kota Madinah, hingga maut menjemputnya.
Abu Dzar dikenal memiliki solidaritas sosial yang tinggi, peduli dengan kaum papa dan marginal, serta bersikap wala’ dan zuhud. Rasulullah pernah mendoakannya, “Semoga Allah SWT mengampuni Abu Dzar. Ia berjalan sendirian, akan mati sendirian dan akan dibangkitkan kembali sendirian.”
Kini di negeri ini, orang-orang yang mengaku besar dan ternama tengah berlomba-lomba berebut jabatan dan kedudukan. Melakukan segala macam cara demi pemenuhan ambisi dan kuasa sesaat. Orang-orang seperti Abu Dzar al-Ghifari jarang muncul ke permukaan.
Padahal meleburkan diri dalam kancah ini bukanlah suatu kehinaan, juga tidak menghilangkan kemuliaan. Abu Dzar telah membuktikan, bahwa “kesendirian” itu sama mulianya dengan gempita kekuasaan.
0 comments:
Post a Comment