Pada sebuah diskusi panel lebih dari sepuluh tahun lalu, yakni dalam rangkaian acara Festifal Istiqlal di Jakarta, Ahmad Mansur Suryanegara mengungkap pendapat Prof. Dr. Sukmono yang menyatakan bahwa kerajaan hindu Majapahit menusantara hanyalah mitos karena pengaruhnya se-Jawa Timur pun tidak menyentuh daerah pinggiran pantainya. Demikian pula Sriwijaya. Meski memang tak terpungkiri bahwa baik Majapahit maupun Sriwijaya adalah dua kerajaan besar yang memiliki hubungan diplomatik dengan Cina dan India.
A.M. Suryanegara mengatakan bahwa bila kerajaan Majapahit dan Sriwijaya pernah menusantara kekuasaannya, pastilah ada bekas nama selat, laut, teluk atau lainnya. Kenyataannya, di sekitar dua kerajaan itu tidak ada bekas namanya. Di Jawa Timur tak terdapat selat bernama Majapahit, yang ada adalah selat Bali, dan selat Madura. Demikian pula di Sumatera Selatan, tak dijumpai nama Sriwijaya atau semisalnya.
Sebaliknya, Sunda secara jelas menjadi nama seluruh wilayah nusantara. Antara Jawa dan Sumatra ada selat Sunda. Bahkan dasar lautnya pun bernama Paparan Sunda. Dahulu nusantara disebut Sunda Besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Madura) dan Sunda Kecil (Bali, Lombok, Sumba, Sumbawa, Timor, dan Flores). Bahkan istilah Sunda pernah digunakan untuk suatu wilayah yang terbentang mulai dari India (selatan), Filipina (Formosa), hingga Maluku. Pada sumpah Palapa-nya, Gajah Mada bahkan menyebutkan wilayah nusantara (Sunda) yang lebih lebar lagi, hingga ke Madagaskar !
Jika (kerajaan) Sunda-lah yang menusantara, mengapa justru Majapahit dan Sriwijaya yang dimunculkan sebagai dua kerajaan adidaya masa silam di nusantara? Menurut A.M. Suryanegara, hal demikian disebabkan kedudukan Kolonial Belanda berpusat di Jawa Barat, sehingga terlalu riskan jika membiarkan masyarakat mengetahui sejarah yang sebenarnya karena dapat membangkitkan kesadaran kebangsaannya kembali. Maka dengan bantuan para sarjana dan cerdik pandainya, Kolonial Belanda berupaya merekayasa dan mendesain ulang sejarah nusantara (Sunda). Beberapa Sarjana Belanda yang melakukan studi serius tentang dunia timur khususnya Nusantara misalnya Snouk Hurgronje dan Bemmelen. Seorang teman yang lama tinggal di Belanda pernah berseloroh kepada saya bahwa jika dalam waktu dekat saya menyempatkan diri ke Belanda dan membaca buku pelajaran sejarah mereka (buku paket sekolah), masih bisa didapati ‘doktrin-doktrin’ sejarah khusus tentang Nusantara dan Sunda yang keliru dan merugikan namun membenarkan tindakan penjajahan atas negeri kita di masa lampau… hal ini membuktikan bahwa Belanda tetap memliki kepentingan terhadap Nusantara – Sunda (Indonesia) hingga detik ini.
Asal Muasal Nama Sunda
Sejauh ini belum ditemukan informasi kesejarahan yang menerangkan tentang nama Sunda ini. Hanyalah sebuah naskah yang saat ini masih diteliti (Naskah Wangsakerta) yang menerangkan bahwa nama Sunda menjadi nama kerajaan di Nusantara pasca keruntuhan kerajaan Tarumanagara pada tahun 669 Masehi dengan raja pertamanya Tarusbawa (669—723). Tarusbawa adalah menantu raja Tarumanagara ke-12 yang moyangnya berasal dari sebuah kerajaan kecil di India, yakni kerajaan Sunda Sembawa (rupanya Tarusbawa terobsesi menegakkan kembali wangsa keluhurnya, meski tidak di negeri asalnya). Peneliti Belanda, Bemmelen, mengklaim bahwa nama Sunda untuk wilayah yang terbentang dari India hingga Maluku (nama pada masa lalu) bersumber dari nama kerajaan kecil ini. Pendapat Bemmelen diragukan karena mustahil nama sebuah wilayah maha luas berasal dari nama sebuah kerajaan kecil. Seandainya nama Sunda itu diambil dari nama kerajaan di India, tentulah nama yang lebih cocok adalah Pallawa atau Maurya, dua kerajaan sejaman yang wilayah dan kekuasaannya lebih luas dan lebih besar. Satu-satunya kerajaan besar terdekat diluar India adalah Tarumanagara yang pada tahun 669 dikenal dengan nama Sunda. Salah satu bukti Tarumanagara sebagai sebuah kerajaan besar, adalah catatan penulis Cina bernama Pien yang menerangkan bahwa telah datang ke kerajaan Cina utusan diplomatik dari kerajaan To Lo Mo (Taruma), utusan terakhir datang pada tahun 669.
Tentang arti kata Sunda, Mardiwarsito (1990), Anandakusuma (1986), Eringa (1949), dan Winter (1928) menyatakan kurang lebih bahwa kata ‘Sunda’ kemungkinan berasal dari kata sangsekerta ‘sund’ atau ‘suddha’ yang artinya terang, bersinar, putih, bersih, suci, murni, tak tercela, air, atau waspada.
A.M. Suryanegara mengatakan bahwa bila kerajaan Majapahit dan Sriwijaya pernah menusantara kekuasaannya, pastilah ada bekas nama selat, laut, teluk atau lainnya. Kenyataannya, di sekitar dua kerajaan itu tidak ada bekas namanya. Di Jawa Timur tak terdapat selat bernama Majapahit, yang ada adalah selat Bali, dan selat Madura. Demikian pula di Sumatera Selatan, tak dijumpai nama Sriwijaya atau semisalnya.
Sebaliknya, Sunda secara jelas menjadi nama seluruh wilayah nusantara. Antara Jawa dan Sumatra ada selat Sunda. Bahkan dasar lautnya pun bernama Paparan Sunda. Dahulu nusantara disebut Sunda Besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Madura) dan Sunda Kecil (Bali, Lombok, Sumba, Sumbawa, Timor, dan Flores). Bahkan istilah Sunda pernah digunakan untuk suatu wilayah yang terbentang mulai dari India (selatan), Filipina (Formosa), hingga Maluku. Pada sumpah Palapa-nya, Gajah Mada bahkan menyebutkan wilayah nusantara (Sunda) yang lebih lebar lagi, hingga ke Madagaskar !
Jika (kerajaan) Sunda-lah yang menusantara, mengapa justru Majapahit dan Sriwijaya yang dimunculkan sebagai dua kerajaan adidaya masa silam di nusantara? Menurut A.M. Suryanegara, hal demikian disebabkan kedudukan Kolonial Belanda berpusat di Jawa Barat, sehingga terlalu riskan jika membiarkan masyarakat mengetahui sejarah yang sebenarnya karena dapat membangkitkan kesadaran kebangsaannya kembali. Maka dengan bantuan para sarjana dan cerdik pandainya, Kolonial Belanda berupaya merekayasa dan mendesain ulang sejarah nusantara (Sunda). Beberapa Sarjana Belanda yang melakukan studi serius tentang dunia timur khususnya Nusantara misalnya Snouk Hurgronje dan Bemmelen. Seorang teman yang lama tinggal di Belanda pernah berseloroh kepada saya bahwa jika dalam waktu dekat saya menyempatkan diri ke Belanda dan membaca buku pelajaran sejarah mereka (buku paket sekolah), masih bisa didapati ‘doktrin-doktrin’ sejarah khusus tentang Nusantara dan Sunda yang keliru dan merugikan namun membenarkan tindakan penjajahan atas negeri kita di masa lampau… hal ini membuktikan bahwa Belanda tetap memliki kepentingan terhadap Nusantara – Sunda (Indonesia) hingga detik ini.
Asal Muasal Nama Sunda
Sejauh ini belum ditemukan informasi kesejarahan yang menerangkan tentang nama Sunda ini. Hanyalah sebuah naskah yang saat ini masih diteliti (Naskah Wangsakerta) yang menerangkan bahwa nama Sunda menjadi nama kerajaan di Nusantara pasca keruntuhan kerajaan Tarumanagara pada tahun 669 Masehi dengan raja pertamanya Tarusbawa (669—723). Tarusbawa adalah menantu raja Tarumanagara ke-12 yang moyangnya berasal dari sebuah kerajaan kecil di India, yakni kerajaan Sunda Sembawa (rupanya Tarusbawa terobsesi menegakkan kembali wangsa keluhurnya, meski tidak di negeri asalnya). Peneliti Belanda, Bemmelen, mengklaim bahwa nama Sunda untuk wilayah yang terbentang dari India hingga Maluku (nama pada masa lalu) bersumber dari nama kerajaan kecil ini. Pendapat Bemmelen diragukan karena mustahil nama sebuah wilayah maha luas berasal dari nama sebuah kerajaan kecil. Seandainya nama Sunda itu diambil dari nama kerajaan di India, tentulah nama yang lebih cocok adalah Pallawa atau Maurya, dua kerajaan sejaman yang wilayah dan kekuasaannya lebih luas dan lebih besar. Satu-satunya kerajaan besar terdekat diluar India adalah Tarumanagara yang pada tahun 669 dikenal dengan nama Sunda. Salah satu bukti Tarumanagara sebagai sebuah kerajaan besar, adalah catatan penulis Cina bernama Pien yang menerangkan bahwa telah datang ke kerajaan Cina utusan diplomatik dari kerajaan To Lo Mo (Taruma), utusan terakhir datang pada tahun 669.
Tentang arti kata Sunda, Mardiwarsito (1990), Anandakusuma (1986), Eringa (1949), dan Winter (1928) menyatakan kurang lebih bahwa kata ‘Sunda’ kemungkinan berasal dari kata sangsekerta ‘sund’ atau ‘suddha’ yang artinya terang, bersinar, putih, bersih, suci, murni, tak tercela, air, atau waspada.
0 comments:
Post a Comment